Dalam Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme,
Weber mengajukan tesis bahwa etika dan gagasan-gagasan Puritan telah memengaruhi perkembangan kapitalisme.
Namun, devosi keagamaan biasanya disertai dengan penolakan terhadap
urusan-urusan duniawi, termasuk pengejaran akan harta kekayaan. Mengapa hal ini
tidak terjadi dengan Protestanisme? Weber membahas apa yang kelihatan sebagai paradoks
ini dalam bukunya.
Ia mendefinisikan semangat kapitalisme
sebagai gagasan dan kebiasaan yang menunjang pengejaran keuntungan
ekonomi
secara rasional.
Weber menunjukkan bahwa semangat seperti
itu tidaklah terbatas pada budaya Barat bila hal itu dipandang sebagai
sikap individual,
namun bahwa upaya individual yang heroik — demikian ia menyebutnya — tidak
dapat dengan sendirinya membentuk suatu tatanan ekonomi yang baru (kapitalisme).
Kecenderungan-kecenderungan yang paling umum adalah keserakahan akan keuntungan dengan upaya yang minimal dan gagasan bahwa
kerja adalah suatu kutukan dan beban yang
harus dihindari khususnya ketika hasilnya melebihi dari kebutuhan untuk kehidupan
yang sederhana. Seperti yang ditulisnya dalam esainya:
Agar suatu gaya hidup yang teradaptasi dengan sifat-sifat khusus dari
kapitalisme… dapat mendominasi gaya hidup yang
lainnya, ia harus muncul dari suatu tempat tertentu, dan bukan dalam pribadi-pribadi
yang terpisah saja, melainkan sebagai suatu gaya hidup yang umum dari keseluruhan
kelompok manusianya.
Setelah mendefinisikan 'semangat kapitalisme',
Weber berpendapat bahwa ada banyak alasan untuk menemukan asal-usulnya di dalam
gagasan-gagasan keagamaan dari Reformasi. Banyak pengamat seperti William Petty, Montesquieu, Henry Thomas Buckle, John Keats,
dan lain-lainnya telah mengomentari kedekatan antara Protestanisme dengan
perkembangan komersialisme.
Weber memperlihatkan bahwa tipe-tipe Protestanisme tertentu mendukung pengejaran keuntungan ekonomi
yang rasional dan bahwa kegiatan-kegiatan duniawi telah memperoleh makna spiritual
dan moral yang positif. Ini bukanlah tujuan dari gagasan-gagasan keagamaan
tersebut, melainkan lebih sebagai produk sampingan — logika yang inheren dari
doktrin-doktrin tersebut dan advis yang didasarkan pada mereka baik yang baik
secara langsung maupun tak langsung mendorong perencanaan dan penyangkalan diri
demi pengejaran keuntungan ekonomi.
Weber menelusiri asal usul etika Protestan pada Reformasi.
Dalam pandangannya, di bawah Gereja Katolik Roma seorang individu dapat
dijamin keselamatannya melalui kepercayaan akan sakramen-sakramen
gereja dan otoritas hierarkhinya. namun, Reformasi secara efektif telah
menyingkirkan jaminan-jaminan tersebut bagi orang biasa, meskipun Weber
mengakui bahwa seorang "genius keagamaan" seperti Martin Luther
mungkin dapat memiliki jaminan-jaminan tersebut.
Dalam keadaan tanpa jaminan seperti itu dari
otoritas keagamaan, Weber berpendapat bahwa kaum Protestan mulai mencari
"tanda-tanda" lain yang menunjukkan bahwa mereka selamat. Sukses
dunia menjadi sebuah ukuran keselamatan. Mendahului Adam Smith
(tapi dengan menggunakan argumen yang sangat berbeda), Luther memberikan
dukungan awal terhadap pembagian kerja yang mulai berkembang di Eropa.
Karenanya, menurut penafsiran Weber atas Luther, suatu "panggilan"
dari Tuhan tidak lagi terbatas kepada kaum rohaniwan atau gereja, melainkan
berlaku bagi pekerjaan atau usaha apapun.
Namun, Weber melihat pemenuhan etika Protestan
bukan dalam Lutheranisme, yang ditolaknya lebih sebagai
sebuah agama hamba, melainkan dalam bentuk Kekristenan yang Calvinis.
Dalam pengertian yang sederhana
"paradoks" yang ditemukan Weber adalah:
- Menurut agama-agama Protestan yang baru, seorang individu secara keagamaan didorong untuk mengikuti suatu panggilan sekular dengan semangat sebesar mungkin. Seseorang yang hidup menurut pandangan dunia ini lebih besar kemungkinannya untuk mengakumulasikan uang.
- Namun, menurut agama-agama baru ini (khususnya, Calvinisme), menggunakan uang ini untuk kemeweahan pribadi atau untuk membeli ikon-ikon keagamaan dianggap dosa. Selain itu, amal umumnya dipandanga negatif karena orang yang tidak berhasil dalam ukuran dunia dipandang sebagai gabungan dari kemalasan atau tanda bahwa Tuhan tidak memberkatinya.
Cara memecahkan paradoks ini, demikian Weber,
adalah menginvetasikan
uang ini, yang memberikan dukungan besar bagi lahirnya kapitalisme.
Pada saat ia menulis esai ini, Weber percaya
bahwa dukungan dari etika Protestan pada umumnya telah lenyap dari masyarakat.
Khususnya, ia mengutip tulisan Benjamin
Franklin, yang menekankan kesederhanaan, kerja keras dan
penghematan, namun pada umumnya tidak mengandung isi rohani.
Weber juga mengatakan bahwa sukses dari produksi
massal sebagian disebabkan oleh etika Protestan. Hanya setelah barang-barang
mewah yang mahal ditolak, maka individu-individu dapat menerima produk-produk
yang seragam, seperti pakaian dan mebel, yang ditawarkan oleh industrialisasi.
Perlu dicatat bahwa Weber menegaskan bahwa
sementara gagasan-gagasan agama Puritan
mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan tatanan ekonomi di Eropa dan Amerika
Serikat, mereka bukanlah faktor satu-satunya (yang lainnya termasuk
rasionalisme dalam upaya-upaya ilmiah, penggabungan antara observasi
dengan matematika,
aturan-aturan ilmiah
dan yurisprudensi,
sistematisasi rasional
terhadap administrasi pemerintahan,
dan usaha ekonomi. Pada akhirnya, studi tentang etika Protestan, menurut Weber,
semata-mata hanyalah menyelidiki suatu tahap dari emansipasi
dari magi,
pembebasan dari ilusi dunia,
yang dianggapnya sebagai ciri khas yang membedakan dari budaya Barat.
diunduh dari https://id.wikipedia.org/wiki/Etika_Protestan_dan_Semangat_Kapitalisme
Tidak ada komentar:
Posting Komentar