Terdapat kehendak kuat mengganti asumsi
beragamnya primordial Indonesia dengan tidak lagi menggunakan denotasi
majemuk melainkan multikultural. Dalam multikultural, etnis-etnis yang
berbeda setara posisinya dalam proses hidup dan berpolitik di dalam
negara kesatuan Republik Indonesia. Sebaliknya konsepsi masyarakat
majemuk menyiratkan bias konsep dominasi salah satu etnis atau ras dalam
kehidupan sosial dan politik Indonesia.
Untuk itu, akan ditelusuri sejumlah
teori sosial berkenaan dengan konsep majemuk dan multikultur masyarakat.
Ini guna mencari pijakan teoretis dalam melakukan counter theory
terhadap hegemoni konsep masyarakat majemuk dalam studi-studi sosial dan
politik Indonesia. Tentunya, kita berharap yang baik, bahwa integrasi
antar elemen masyarakat Indonesia tercipta tidak berdasarkan paksaan
melainkan melalui proses negosiasi secara alamiah dan penuh kedamaian.
Masyarakat Majemuk Indonesia
John Sydenham Furnivall termasuk orang
yang pertama kali menyebut Indonesia masuk ke dalam kategori masyarakat
majemuk (plural society). Masyarakat majemuk adalah suatu masyarakat di
mana sistem nilai yang dianut berbagai kesatuan sosial yang menjadi
bagian-bagiannya membuat mereka kurang memiliki loyalitas terhadap
masyarakat sebagai keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan
atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama
lain.[1]
Studi Furnivall saat itu dikhususkan
pada masyarakat yang mengalami tindak kolonial barat seperti Burma,
India, ataupun Indonesia. Mengenai fakta plural society ini, Furnivall
menulis dalam salah satu studinya mengenai Burma:
In Burma, as in Java, probably the first thing that strikes the visitor is the medley of peoples ---European, Chinese, Indian, and native. It is in the strictest sense a medley, for they mix but do not combine. Each group holds by its own religion, its own culture and language, its own ideas and ways. As individuals they meet, but only in the market-place, in buying and selling. There is a plural society, with different sections of the community living side by side but separately, within the same political unit. Even in the economic sphere there is a division of labour along racial lines.[2]
Masyarakat majemuk adalah masyarakat
yang terdiri atas kelompok-kelompok, yang tinggal bersama dalam suatu
wilayah, tetapi terpisah menurut garis budaya masing-masing. Kemajemukan
suatu masyarakat patut dilihat dari dua variabel yaitu kemajemukan
budaya dan kemajemukan sosial. Kemajemukan budaya ditentukan oleh
indikator-indikator genetik-sosial (ras, etnis, suku), budaya (kultur,
nilai, kebiasaan), bahasa, agama, kasta, ataupun wilayah. Kemajemukan
sosial ditentukan indikator-indikator seperti kelas, status, lembaga,
ataupun power. Skema dalam Gambar 12 dapat digunakan untuk mempermudah
peta pembicaraan masyarakat majemuk.[3]
Di dalam kenyataan, kedua variabel kerap
berhimpitan sehingga menambah kompleksitas masalah. Dalam masyarakat
India misalnya, kemajemukan budaya terbentuk dari anutan penduduk atas
sejumlah agama besar yaitu Hindu, Islam, Kristen, dan Sikh. Kendati kini
mulai memudar, dalam masyarakat Hindu, berlaku kasta dan ini merupakan
konsekuensi logis dari ajaran agama. Di dalam masyarakat yang menganut
agama Islam, kasta tidak berlaku dan situasi masyarakat lebih egaliter.
Kemajemukan budaya tersebut merambah pada kemajemukan sosial. Kasta di
dalam masyarakat Hindu menciptakan kelas-kelas dan status-status sosial,
sementara pelapisan kelas dan status tersebut berjalan secara berbeda
di dalam masyarakat India yang Islam. Terjadi perbedaan penafsiran tajam
antara kedua elemen masyarakat India tersebut. Masing-masing masyarakat
memerlukan space atau wilayah untuk mengimplementasikan keyakinan
budaya dan sosial yang berbeda. Friksi tajam ini berkulminasi dalam
pemisahanan India (Hindu), Pakistan (Islam, di barat India), dan
Bangladesh (Islam, di timur India) sejak 1948 lewat fasilitasi Inggris.
Pengamatannya atas Burma yang ia samakan
dengan Jawa, Furnivall menyatakan masyarakat majemuk terpisah menurut
garis budaya yang spesifik, di mana kelompok-kelompok di dalam unit
politik menganut budaya yang berbeda. Kelompok yang satu berbaur dengan
kelompok lainnya tetapi masing-masing tidak saling mengkombinasikan
budayanya. Kelompok-kelompok masyarakat berbeda tersebut saling bertemu
dalam kegiatan sehari-hari (semisal di pasar), tetapi masing-masing
mempraktekkan budayanya masing-masing. Di pasar-pasar tradisional, para
pedagang berasal dari etnis berbeda, sehingga kerap memperdengarkan
percakapan dalam aneka bahasa: Jawa, Batak, Padang, Madura, Sunda, dan
lain-lain. Pedagang pun terkotak berdasarkan komoditas yang didagangkan
misalnya pedagang Minang di bagian pakaian, pedagang Batak di
kelontong/grosir, pedagang Jawa di sayur-mayur dan bahan mentah,
pedagang Madura di lapak ikan, pedagang Banten di los daging, dan
seterusnya.
Parsudi Suparlan memberi catatan tentang
masyarakat majemuk ini. Dalam tulisannya Kesetaraan Warga dan Hak
Budaya Komuniti dalam Masyarakat Majemuk Indonesia, Suparlan menulis:
Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk. Yang mencolok dari ciri kemajemukan masyarakat Indonesia adalah penekanan pada pentingnya kesukubangsaan yang terwujud dalam bentuk komuniti-komuniti sukubangsa, dan digunakannya kesukubangsaan sebagai acuan utama bagi jatidiri.
Berdasarkan ciri-ciri fisik atau tubuh yang dipunyai oleh seseorang, gerakan-gerakan tubuh yang dibarengi dengan bahasa yang digunakan dan logat yang diucapkan, dan berbagai simbol-simbol yang digunakan [...] dia akan diidentifikasi sebagai tergolong dalam sesuatu sukubangsa dari sesuatu daerah tertentu oleh seseorang lainnya. Bila ciri-ciri tersebut tidak dapat dipergunakan [...] maka seseorang tersebut akan menanyakan dari mana asalnya [...][4]
---------------> gambar peta masyarakat majemuk <------------------------- span="">
Lebih lanjut Suparlan menyatakan:
Masyarakat majemuk atau plural society adalah sebuah masyarakat yang terwujud karena komuniti-komuniti sukubangsa yang ada telah secara langsung atau tidak langsung dipaksa untuk bersatu di bawah kekuasaan sebuah sistem nasional [...]
Dalam masyarakat majemuk Hindia Belanda,
tidak ada tatanan demokrasi. Dalam tatanan itu, dengan jelas dibedakan
antara tuan yang penguasa dan hamba yang pribumi. Pembedaan antara tuan
dan hamba dilakukan berdasarkan atas ciri-ciri fisik atau rasial,
kesukubangsaan, keyakinan keagamaan, dan jenjang sosial menurut patokan
feodalisme yang secara tradisional berlaku.[5]
Faktor suku (juga agama) menjadi
perhatian serius bagi negara yang terbangun lewat gejala masyarakat
majemuk. Faktor etnis dan agama menjadi persoalan sensitif yang mampu
memicu kekerasan dan konflik, seperti kerap terjadi di Indonesia. Ini
akibat proses integrasi nasional yang belum selesai. Integrasi semu
sempat terjadi di Indonesia selama Orde Baru, di mana Soeharto berupaya
mensubordinasi tiap-tiap budaya etnis ke bawah jargon budaya nasional.
Ia mengembangkan tabu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) sebagai
terlarang untuk dipertentangkan di muka publik. Kemayaan ini tampak
jelas setelah Soeharto turun dari kekuasaan, konflik-konflik berlatar
belakang suku, agama, ras, dan antargolongan jadi meruyak.
Memang selama pemerintahan Soeharto
kondisi terkesan harmonis meskipun sekadar berupa api dalam sekam.
Kondisi harmonis karena negara sangat strong dengan alat pengaman negara
(militer, intelijen) yang padu. Terbukti, saat politik kekuasaan
Soeharto melemah, banyak konflik yang dilatari etnis, agama, ras, dan
antargolongan justru terjadi dengan mudahnya, bahkan berlarut-larut.
Malah setelah terpojok Soeharto justru menggunakan tabu SARA-nya sendiri
untuk membangun kuda-kuda politik barunya di era 1990-an: Merangkul
kalangan Islam modernis dan merenggangkan jarak dengan kelompok
nasionalis dan non Muslim yang selama ini menjadi sekutu dekatnya.
Mengenai hubungan antarkelompok dalam masyarakat majemuk, Leo Kuper memberi catatan berikut: [6]
- Societies composed of status groups or estates that are phenotypically distinguished, have different positions in the economic order and are differentially incorporated into the political structure, are to be called plural societies and distinguished from class societies. In plural societies political relations influence relations to the means of production more than any influence int the reverse direction.
- When conflicts develop in plural societyes ther follow the lines of racial cleavage more closely tahan those of class.
- Racial categories in plural societies are historically conditioned; they are shaped by inter-group competition and conflict.
Bagi seorang ahli Indonesia lain,
Clifford Geertz, masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terbagi-bagi
ke dalam sub-sub sistem yang kurang lebih berdiri sendiri-sendiri, dalam
mana masing-masing subsistem terikat ke dalam ikatan-ikatan yang
bersifat primordial.[7] Hal yang menarik kemudian dinyatakan Pierre L.
van den Berghe seputar ciri dasar dari masyarakat majemuk ini, yaitu:
[8]
- Terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang seringkali memiliki subkebudayaan yang berbeda-beda satu sama lain;
- Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer;
- Kurang mengembangkan konsensus di antara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar;
- Secara relatif seringkali mengalami konflik-konflik di antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain;
- Secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi; serta
- Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang lain.
Melalui paparan di atas, diketahui bahwa
teori masyarakat majemuk (plural society) awalnya lahir dari pengamatan
J.S. Furnivall atas negara-negara kolonial dan postcolonial. Di
negara-negara tersebut, masyarakat terkotak ke dalam sekat-sekat asal
usul (suku, ras, agama, golongan) di mana satu suku atau agama
mendominasi lainnya. Masyarakat tersebut dipaksa untuk bersatu oleh
sebuah kuasa kolonial. Namun, kendati disatukan mereka dipecah di
dalamnya agar tidak bersatu. Mereka disatukan hanya agar mudah
dieksploitasi. Masyarakat majemuk mudah terbelah akibat tiadanya common
will (kehendak bersama). Akibatnya, individu dalam masyarakat hanya
loyal kepada kelompok basis primordial mereka. Common will yang bersifat
nasional kendatipun ada hanyalah sebatas jargon. Ini merupakan hasil
sukses politik Divide et Impera kaum kolonial. Kondisi masyarakat
majemuk, bagi Sammy Shooha, [...] created by Western imperialism, and
maintained through political coercion for economic exploitation of
nonwhite populations. They consist of a medley of peoples who share
little more than the imposed economy and policy.[9]
Konflik-konflik akibat struktur
masyarakat majemuk juga terjadi antara masyarakat eks penjajahan
bangsa-bangsa barat yang secara tajam dipisahkan kemajemukan seperti
Hindu dan Muslim di India (diikuti pemisahan Pakistan), Burma (etnis
Karen), Aljazair (masalah agama, bahasa Berber, Arab, Perancis),
Zanzibar (etnis Watumbatu, Wahadimu, dan Wapemba), Rwanda (Hutu dan
Tutsi), Burundi (Hutu dan Tutsi), Kongo (Hutu dan Tutsi), Angola
(Ambundu, Bakongo, dan Ovimbundu), Mozambik (Frelimo, Renamo), Afrika
Selatan (warisan Aparteid), Nigeria (suku Ibo versus Hausa versus
Yoruba), Uganda (Acholi dan Baganda), Sudan (Arab dan nonarab), Ethiopia
(Ethiopia dan Eritrea), Siprus (Yunani dan Turki), Irlandia Utara
(Protestan dan Katolik), Israel (Palestina-Yahudi, Yahudi
Relijius-Yahudi Sekuler, Yahudi Oriental-Yahudi Ashkenazi), Vietnam,
Bangladesh, Lebanon (Kristen Maronit versus Kristen Druze versus Islam
Sunni versus Islam Syiah), Malaysia (India versus Cina versus Melayu),
Srilangka (etnis Sinhala versus Tamil), dan Indonesia (lewat serangkaian
kerusuhan bermuatan etnis dan agama di Sampit, Poso, dan Ambon).
Sebagai negara yang pernah mengalami
kolonialisasi Belanda, Indonesia menderita ekses negatif masyarakat
majemuk. Selama penjajahan, masyarakat dibelah berdasarkan unsur
primordial suku, agama, ras dan golongan. Pembelahan dilakukan secara
sistematis, terstruktur, menggunakan agen-agen khusus Belanda seperti
Hendrikus Colijn. Pembelahan terus bertahan bahkan hingga pasca
Indonesia merdeka. Isu-isu Islam versus Non Islam, Jawa versus Luar
Jawa, Luar versus Pribumi, masih laku sebagai komoditas politik maupun
amunisi pemicu konflik kekerasan. Terlebih, Pancasila sebagai konsensus
nasional mulai dianggap sepi masing-masing komunitas politik dan budaya
Indonesia. Ruang kosong ideologi semakin memperlemah kohesi masyarakat
multikultur Indonesia.
Simbol, bahasa, nilai, dan norma
nasional kendati ada – penggunaan bahasa Indonesia, simbol negara
seperti bendera dan lagu kebangsaan, nilai seperti Pancasila, dan norma
seperti aturan hukum dan perundang-undangan – belum sepenuhnya mampu
memadamkan kekuatan politik etnis dan sektarian. Pertikaian sepanjang
garis etnis, agama, dan golongan mewarnai peta kehidupan bermasyarakat
dan bernegara Indonesia.
Sulit diprediksi apakah Indonesia masih
relevan untuk disebut masyarakat majemuk atau tidak, tetapi fakta
menunjukkan jawabannya adalah ya. Namun, jika pertanyaan susulan
diajukan adalah apakah paham kemajemukan dapat disaingi maka jawabannya
adalah ya. Persoalan mendesak adalah bagaimana membelokkan dominasi
paradigma masyarakat majemuk menjadi paradigma lain yang lebih toleran
dan mungkin menciptakan integrasi nasional yang lebih baik bagi
Indonesia. Seperti Indonesia yang awalnya sebuah gagasan, masyarakat
multikultural juga sebuah gagasan, layaknya masyarakat majemuk. Sebagai
gagasan, paradigma multikultural sesungguhnya dapat diupayakan di
Indonesia.
Masyarakat Multikultural Indonesia
Tidak dipungkiri, Indonesia negara
dengan kultur beraneka ragam. Bahkan, Indonesia – oleh Parsudi Suparlan –
tegas dimasukkan ke dalam kategori plural society atau masyarakat
majemuk dengan sejumlah dimensi negatifnya. Kultur yang beraneka ragam
(multikultur) oleh kolonial Belanda direkayasa sedemikian rupa
(ironisnya dilanjutkan oleh elit-elit politik lokal dan nasional) guna
menjamin posisi kekuasaan. Masyarakat dibelah menurut kategori suku,
agama, ras, dan golongan: Jadilah masyarakat majemuk. Pembelahan
dilakukan dengan cara melakukan permanensi atas perbedaan lalu
membenturkan satu sama lain. Hingga kini, efek pembelahan masih terasa
bahkan banyak meledak dalam rentetan panjang konflik horisontal di
Indonesia.
Sejumlah ilmuwan sosial menawarkan
gagasan lebih bijaksana dalam mengatasi perbedaan tajam antar komunitas
dalam masyarakat. Gagasan baru tersebut guna menggantikan gagasan usang
masyarakat majemuk yaitu multiculturalism. Multikulturalisme dapat
disebut paradigma sebab merupakan cara berpikir tandingan dalam metode
hubungan antarsuku, agama, ras, dan antargolongan dalam sebuah kesatuan
politik. Multikulturalisme adalah gagasan politik yang hendak mengubah
gagasan masyarakat majemuk yang konfliktual ke arah gagasan masyarakat
multikultural yang konsensual.
Untuk menyamakan sudut pandang, baiklah
kami sertakan terlebih dahulu dua definisi multikulturalisme. Definisi
pertama kami ambil dari Tariq Modood sementara yang kedua dari Steven
Bochner. Tariq Modood mendefinisikan multikulturalisme sebagai gagasan
politik, yaitu:
[...] the recognition of group difference within the public sphere of laws, policies, democratic discourses and the terms of a shared citizenship and national identity --- while sharing something in common with the political movements [...][10]
Modood berpendapat keragaman primordial
harus tetap diakui eksistensinya. Namun, perbedaan tersebut hendaklah
jangan diterjemahkan ke dalam bentuk dominasi satu terhadap lain juga
bukan dalam bentuk separatisme politik. Keragaman – lewat prosedur
politik – diakui dalam kehidupan publik. Ia terjelma dalam struktur
hukum, kebijakan, dan wacana politik. Titik tekan yang mempertemukan
semua keragaman adalah kewarganegaraan dan identitas nasional suatu
negara. Indonesia memiliki Pancasila sebagai konsensus tatacara hubungan
antar komunitas budaya dalam bingkai komunitas politik Indonesia.
Selain dari Modood, definisi
multikulturalisme lainnya diajukan Steven Bochner yang menekankan
keunikan hubungan dalam sebuah masyarakat multikultural:
[...] refers to social arrangement characterized by cultural diversity. In practice, this mean non-trivial interpersonal contact between individuals and groups who differ in their ethnicity. In multicultural societies, such contact occurs within a climate of tolerance and mutual respect. A distinction is drawn between the process of multicultural contact, which include the behaviors, attitudes, perceptions and feelings of the participants; and the institutional structures which characterize and either support of hinder benign intercultural contact, which included legislation, government policy, and employment practices.[11]
Bochner lebih menekankan pendekatan
interaksi-simbolik dalam lingkup sosial psikologis tinimbang politik.
Baginya, multikulturalisme merupakan kesepakatan sosial yang
dikarakteristikkan keragaman kultural. Masing-masing entitas yang
berbeda dimensi kulturalnya melakukan kontak satu sama lain berdasarkan
sikap toleransi dan saling hormat-menghormati. Dasar aturan setiap
kontak dijamin dalam undang-undang, kebijakan pemerintah, bahkan di
dalam praktek keseharian dunia pekerjaan (peraturan-peraturan
organisasi).
Konsep masyarakat majemuk, seiring
perkembangan demokratisasi pada konteks global, semakin kehilangan
signifikansinya karena efek dominasi mayoritas atas minoritas atau etnis
dominan atas kurang dominan di dalam konsep usang tersebut. Konsep
warisan kolonial ini perlu didekonstruksi untuk kemudian digantikan
konsep multikulturalisme. Mengenai multikulturalisme, Baogang He and
Will Kymlicka memberi catatan bahwa aneka bangsa dan negara di dunia
kini harus menyadari bahwa keragaman adalah realitas yang tidak bisa
ditolak. Keragaman elemen yang membentuk masyarakat politik (negara)
tidak bisa dihomogenisasi, apalagi jika dilakukan lewat metode pemaksaan
(koersif). Baogang He dan Will Kymlicka lalu melancarkan pernyataan
seputar perlunya cara pandang baru dalam mengatasi masalah perpecahan
masyarakat karena garis etnis dan agama sebagai berikut:
In the first few decades following decolonization, talk of multiculturalism and pluralism was often discouraged, as states attempted to consolidate themselves as unitary and homogenizing nation-states. Today, however, it is widely recognized that states in the region must come to terms with the enduring reality of ethnic and religious cleavages, and find new ways of accommodating and respecting diversity.[12]
Bagi He and Kymlicka, upaya homogenisasi
budaya di suatu negara sudah kehilangan justifikasinya. Ini akibat
adanya kenyataan bahwa dalam homogenisasi budaya di negara berkategori
plural society (masyarakat majemuk) yang justru terjadi adalah dominasi
budaya satu atas budaya lain. He and Kymlicka memandang perbedaan adalah
kodrat dan patutnya diterima saja. Hal penting yang perlu dicari
solusinya bagaimana jalinan hubungan antar komunitas berbeda dapat
berjalan secara harmonis.
He and Kymlicka melanjutkan, upaya
homogenisasi nasional selama ini kerap memancing perlawanan kaum
minoritas etnis (juga agama) yang termanifestasi lewat keputusan
pemisahan diri, kekerasan, bahkan perang sipil seperti yang terjadi di
Filipina, Papua New Guinea, Cina, Burma, Indonesia, Srilanka, India,
ataupun Pakistan. Konflik kekerasan merupakan salah satu ekses negatif
dari pembelahan masyarakat yang berlangsung selama periode kolonial
masing-masing negara. Aneka konflik tersebut memanfaatkan
kemultikulturalan masyarakat jajahan. Selama periode kolonial, penjajah
bekerja sama dengan satu etnis dalam masyarakat untuk menindas etnis
lain. Ketika penjajah hengkang, yang tersisa hanyalah amunisi melimpah
untuk perang saudara.
Kata multikulturalisme pertama kali
digunakan di Kanada tahun 1960-an. Perdana Menteri Kanada, Pierre
Trudeau, menggunakannya untuk melawan konsep biculturalism.[13] Di masa
sebelumnya, Kanada dikenal hanya terdiri atas dua etnis yang saling
bersaing: Inggris dan Perancis. Semenjak Trudeau, dinyatakan bahwa
Kanada multikultural, karena terdiri atas etnis dan ras berbeda seperti
Inggris, Perancis, Indian, Inuit, serta kaum imigran dari mancanegara
seperti Cina, India, Jerman, Arab, dan sebagainya.
Studi multikulturalisme kemudian
disistematisasi serta dipopulerkan Will Kymlicka lewat dua karyanya
Liberalism, Community and Culture yang terbit tahun 1989 serta
Multicultural Citizenship yang terbit tahun 1995. Bagi Kymlicka,
pemberian ruang bagi kalangan minoritas suatu negara tidak bisa dicapai
hanya lewat jaminan hak-hak individual dalam undang-undang. Minoritas
yang dimaksud Kymlicka adalah minoritas budaya, yang secara praktek
sosial sehari-hari harus diperhatikan keunikan identitasnya.[14]
Kymlicka bicara dalam konteks multikultural dalam satu komunitas politik
(negara), yang mungkin saja terdiri atas komunitas-komunitas budaya
yang berbeda.
Studi multikulturalisme condong pada
studi kewarganegaran, karena khusus mengulas sejumlah perbedaan budaya
di tengah komunitas politik (negara). Kymlicka menentang pendapat
individu yang hidup dalam komunitas politik otomatis merupakan bagian
komunitas budaya yang sama. Secara politik, individu adalah bagian dari
satu komunitas politik, tetapi dalam hal budaya, ia merupakan komunitas
budaya spesifik. Dalam masalah multikulturalisme ini, Kymlicka
membedakan komunitas politik dengan komunitas budaya sebagai:
On the one hand, there is the political community, within which individuals exercise the right and responsibilities entailed by the framework of liberal justice. People who reside within the same political community are fellow citizens. On the other hand, there is the cultureal community, within which individuals form and revise their aims and ambitions. People within the same cultural community share a culture, a language and history which defines their cultural membership.[15]
Komunitas politik – biasa disebut negara
– merupakan tempat setiap anggota masyarakat secara legal menjadi
warganegara. Hak serta kewajiban mereka sama, tanpa memandang budaya,
suku, agama, ras, dan golongan. Komunitas budaya adalah individu
mempraktekkan keunikan budaya masing-masing. Mereka menciptakan
komunitas-komunitas kebudayaan, tempat dimana mereka menemukan
individualitasnya.
Selama ini hubungan antara komunitas
politik dengan komunitas budaya tidak selalu harmonis. Komunitas politik
kerap memaksakan sebuah komunitas budaya nasional atas aneka komunitas
budaya spesifik yang ada di wilayah yuridiksi suatu negara. Dapat
diingat kewajiban asimilasi nama Indonesia atas etnis Cina di masa Orde
Baru atau pelarangan demonstrasi kebudayaan Cina secara publik?
Pemerintah Indonesia atas nama komunitas politik menekan komunitas
budaya Cina dalam meng-exercise kebudayaannya. Kasus serupa terjadi di
Amerika Serikat, sebagai komunitas politik yang tidak memberikan hak
pilih dan hak sosial setara kepada komunitas budaya Afro-American
sekurangnya hingga tahun 1964. Agar analisis mengenai multikulturalisme
mendapat porsi yang tepat, Kymlicka mengingatkan bahwa pola hubungan
minoritas-mayoritas di suatu negara tidak dilepaskan dari sejarah
terbentuknya sebuah masyarakat:
Modern societies are increasingly confronted with minority groups demanding recognition of their identity, and accommodation of their cultural difference. This is often phrased as the challenge of ‘multiculturalism’ [...] There are a variety of ways in which minorities incorporated into political communities, from the conquest and colonization of previously self-governing societies to the voluntary immigration of individuals and families. These differences in the mode of incorporation affect the nature of minority groups, and the sort of relationship they desire with larger society.[16]
Menurut Kymlicka, masyarakat modern kini
banyak menghadapi tuntutan dari kalangan minoritas atas keunikan budaya
mereka. Dalam menyikapi tuntutan ini, komunitas politik (negara)
hendaknya tidak melupakan sejarah masuknya aneka kelompok minoritas
budaya ke dalam komunitas politik. Secara sejarah ada di antara mereka
yang masuk karena penaklukan ataupun kolonialisasi atas wilayah yang
dahulunya otonom maupun migrasi (perpindahan) sukarela suatu kelompok
budaya ke dalam wilayah-wilayah yang masuk yuridiksi sebuah negara
moderen. Asal-usul elemen yang mengikatkan diri di dalam sebuah
komunitas politik moderen (negara) menandai kerumitas pola hubungan yang
ada sekaligus mampu memberi jalan keluar bagi terciptanya hubungan
antar komunitas budaya yang lebih manusiawi dan harmonis.
Guna melihat jenis multikultur di suatu
komunitas politik, Kymlicka menganalisisnya lewat pola masuknya suatu
komunitas budaya ke dalam komunitas politik. Variabel penentunya adalah
genealogi proses suatu komunitas budaya menjadi anggota komunitas
politik. Genealogi ini dibagi ke dalam dua pola, yang menurut Kymlicka
(dikutip agak panjang saja):
In the first case, cultural diversity arises from the incorporation of previously self-governing, territorially concentrated cultures into a larger state. The incorporated cultures, which I call ‘national-minorities’, typically wish to maintain themselves as distict society alongside the majority culture, and demand various forms of autonomy of self-government to ensure their survival as distinct societies.
In the second case, cultural diversity arises from individual and familial immigration. Such immigrants often coalesce into loose associations which I call ‘ethnic groups’. They typically wish to integrate into larger society, and to be accepted as full member of it. While they often seek greater recognition of their etnic identity, their aim is not to become a separate and self-governing nation alongside the larger society, but to modify the institutions and laws of the mainstream society to make the more accomodating of cultural differences.[17]
Kymlicka menyebut pola pertama sebagai
pola minoritas nasional dan yang kedua sebagai pola kelompok etnis.
Dalam pola pertama, sebuah negara terbentuk dari budaya-budaya yang
awalnya mandiri secara politik, bahkan dapat dikategorikan sebagai unit
politik atau negara sendiri. Masyarakat-masyarakat politik dan budaya
mandiri tersebut lalu sepakat membentuk sebuah negara yang lebih besar.
Namun, kendati sudah masuk ke dalam negara yang lebih besar, mereka
tetap menuntut privilese untuk mengatur diri sendiri sejauh tetap berada
dalam kesepakatan politik dengan komunitas politik (negara) yang lebih
besar tadi. Negara yang terbentuk lewat pola minoritas nasional disebut
Kymlicka sebagai memiliki dimensi multinasional.
Dalam pola kedua, keragaman budaya
muncul dari arus migrasi atau perpindahan penduduk, baik yang sifatnya
sukarela maupun termobilisasi. Pendatang yang baru masuk memiliki budaya
berbeda dengan budaya penduduk lokal tempat lokasi tujuan pindah.
Berbeda dengan pola pertama, dalam pola kedua ini komunitas budaya
beragam, ada yang berasal dari wilayah yang dahulunya merupakan
komunitas politik politik otonom sebelum bergabung ke dalam negara
maupun berasal dari luar wilayah yuridiksi negara yang bersangkutan.
Konsep awam dalam menyebut mereka ini adalah keturuan dan pendatang.
Mereka disebut keturunan jika berasal dari luar negara misalnya orang
Arab, Cina, dan India. Masalah utama yang menghadapi mereka adalah
kewarganegaraan dan identitas, yaitu antara loyal kepada pemerintah di
mana kini mereka tinggal ataukan kepada masyarakat dan negara asal atau
leluhur mereka.
Mereka disebut pendatang jika berasal
dari dalam wilayah yuridiksi. Masalah kewarganegaraan dan identitas
seperti dialami jenis pertama mungkin tidak dialami. Masalah utama bagi
mereka justru bagaimana melakukan integrasi ke dalam masyarakat di mana
budaya lokal yang mainstream bukanlah budaya mereka. Dengan kata lain,
masalah pokok bagi mereka adalah bagaimana melakukan perimbangan antara
melestarikan budaya mereka sendiri dengan tetap menghargai budaya dan
pandangan masyarakat asli. Jumlah para pendatang ini bervariasi. Ada
pendatang yang jumlahnya sedikit di suatu wilayah, tetapi ada pula yang
bahkan merupakan mayoritas di wilayah tinggal non daerah basis mereka.
Dalam pergaulan antar komunitas budaya mereka melakukan sejumlah
asimilasi (bahasa, tatakrama). Namun, keunikan budaya mereka pun tetap
ada dan berhak untuk eksis, bukan dengan tujuan separatisme politik
melainkan agar karakteristik budaya mereka diakui baik oleh komunitas
politik maupun komunitas budaya lain tempatnya tinggal. Negara yang
terbentuk lewat pola kedua ini dinamakan Kymlicka sebagai polietnis.
Kedua pola pembentukan bangsa versi
Kymlicaka hadir sekaligus di Indonesia. Untuk kategori multinasional,
sebelum kolonialisme Belanda dan terbentuknya Indonesia, hampir setiap
daerah dahulunya merupakan komunitas politik sekaligus komunitas budaya
mandiri. Misalnya, Maluku Utara (kerajaan Ternate, Tidore, Bacan,
Jailolo), Aceh (Samudera Pasai), Kalimantan (kerajaan Banjar), Sulawesi
Selatan (kerajaan Bone, Wajo, Luwuk), Yogyakarta (Surakarta dan
Yogyakarta), Banten (kesultanan Banten), Cirebon (kesultanan Cirebon),
Sumatera bagian Timur (Deli, Palembang), dan banyak lagi di
bagian-bagian lain. Raja, ratu, atau para sultan di masing-masing
komunitas sebelum periode kolonial relatif mandiri secara politik.
Mereka memiliki bahasa, adat, keyakinan, simbol, dan norma
sendiri-sendiri yang berbeda satu sama lain. Dan, hingga kini pun
eksistensi politik mereka relatif masih diakui di wilayah tertentu
Indonesia, yang misalnya terjelma dalam konsep daerah istimewa. Dalam
konteks multinasional ini, kecenderungan revivalisme nativistik sifatnya
laten.
Untuk kategori polietnis Indonesia
dibentuk oleh dua pola migrasi yaitu migrasi luar dan migrasi dalam.
Migrasi luar terjadi tatkala etnis Arab, India, dan Cina datang dan
diam di Indonesia. Kebanyakan migrasi ini sifatnya sukarela. Kendati
kecil secara kuantitas, pengaruh mereka di bidang-bidang tertentu
kehidupan publik Indonesia cukup besar. Imigran Arab memiliki pengaruh
di bidang agama (Islam) yang ditunjukkan dengan aneka majlis ta’lim yang
dipimpin seorang imigran Arab (Hadramaut) ataupun keturunannya. Imigran
Cina dan India memiliki aneka perusahaan besar yang beroperasi dan
menggunakan tenaga kerja masyarakat Indonesia. Untuk itu diperlukan
regulasi serius pemerintah pusat seputar kebebasan para imigran
mempraktekkan budayanya.
Migrasi dalam mengemuka dalam hubungan
antaretnis dari dalam Indonesia. Seperti telah disebut, konsep awam
untuk melukiskan mereka adalah pendatang. Satu atau beberapa etnis
melakukan transmigrasi ke wilayah etnis lain. Misalnya etnis Jawa ke
pulau-pulau luar Jawa, etnis Bugis dan Buton bermigrasi ke Halmahera,
etnis Betawi bermigrasi ke Sorong, atau etnis Madura bermigrasi ke
Sampit. Motivasi mereka pindah juga bervariasi, ada yang secara sukarela
dan ada pula yang secara mobilisasi. Akibat migrasi, kerap terjadi
social tension yang berkulminasi pada rentetan konflik (kerusuhan) etnis
di Jakarta, Bandung, Solo, Kalimantan, Poso, Ambon, dan wilayah Maluku
Utara. Sebab itu, dampak-dampak yang mungkin muncul akibat pola migrasi
dalam dalam masyarakat Indonesia ini pun perlu diakomodasi baik oleh
komunitas politik (pemerintah daerah lewat perda) maupun komunitas
budaya (tokoh-tokoh adat masyarakat setempat).
Kompleksitas sistem sosial dan budaya
Indonesia serta upaya kohesinya – seiring kenyataan multinasional dan
polietnis – masih belum selesai pembentukannya. Problem inti yang selalu
muncul berkisar pada bagaimana mencapai konsensus nasional sebagai
basis perekat antarkelompok. Pancasila sebagai basis ideologi
multikulturalisme Indonesia, termasuk slogan Bhinneka Tunggal Ika,
belumlah cukup tanpa pemahaman dan exercise yang lebih komprehensif dari
seluruh anggota komunitas politik dan komunitas budaya yang ada.
Pemerintah tidak dapat melulu menggunakan tindakan bercorak coercion
guna menimbulkan pemahaman dan menjamin kohesi. Perlu upaya kreatif dari
pemerintah sebagai wakil komunitas politik dan masyarakat sipil yang
mewakili komunitas-komunitas budaya untuk lebih memahami posisi
Pancasila di dalam konteks kebangsaan Indonesia.
Pasca transisi politik 1998, Indonesia
semakin mengarah pada sensitivitas positif akan dimensi multinasional
dan polietnis masyarakatnya. Dalam konteks polietnis kalangan imigran
misalnya, di bawah administrasi Gus Dur, etnis Tionghoa memperoleh
pengakuan atas sekurangnya dua komponen budayanya yaitu Hari Raya Imlek
dan agama Kong Hu Cu (Konfusianisme). Etnis Arab, biasanya terlembaga ke
dalam majlis-majlis ta’lim yang di masa administrasi Suharto telah
beroleh pengakuan. Etnis India juga diberi hak sama dengan mendirikan
gurudwara-gurudwara. Masalah lain yang belum tersentuh adalah pola
hubungan polietnis yang diakibatkan faktor migrasi dalam. Bagaimana
multikultural dapat berkembang harmonis antara etnis-etnis intra
Indonesia.
Dalam konteks multinasional,
Undang-undang Otonomi Daerah memberi keleluasaan setiap daerah untuk
melakukan self-governing. Pemilihan kepala daerah langsung menjamin
adanya ruang lebih besar bagi tokoh-tokoh masyarakat dan politik lokal
guna menentukan bagaimana seharusnya masyarakat mereka kelola. Seperti
Kymlicka nyatakan sebelumnya, genealogi fitur multinasional biasanya
mengharapkan kemandirian politik relatif vis a vis pemerintah pusat.
Untuk itu, Aceh diperkenankan menggunakan Qanun dan berganti nama
menjadi Nanggroe Aceh Darussalam, Yogyakarta terus menikmati status
sebagai daerah istimewa, dan wilayah-wilayah lain diperkenankan
melembagakan pengajaran bahasa daerah dalam kurikulum pendidikannya.
Atas dasar fakta-fakta ini, dapat dikatakan bahwa Indonesia tengah
mengarah (atau diarahkan) kepada masyarakat multikultur.
Patologi yang biasa muncul dalam
masyarakat multinasional dan polietnis adalah etnophobia atau kecurigaan
yang berlebihan terhadap suatu etnis. Misalnya saja di Indonesia
berkembang etnophobia atas etnis Jawa yang mengendap pada suku-suku luar
pulau Jawa. Ini merupakan peninggalan merusak dari konsep masyarakat
majemuk zaman kolonial di mana suatu etnis disokong oleh penjajah
Belanda guna mendominasi etnis lain. Pemerintah kolonial pun selalu
menggunakan Jawa sebagai model pemerintahan bagi daerah luar Jawa yang
mereka kuasai. Memang, secara kuantitas, Jawa merupakan etnis yang
terbesar Indonesia. Namun, dominasi kuantitatifnya hanya di DKI Jakarta,
Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan beberapa provinsi Sumatera.
Selain itu, bahasa persatuan (bahasa Indonesia) bukanlah bahasa Jawa
melainkan Melayu yang telah menyerap unsur-unsur Sanskerta, Arab, dan
sejumlah bahasa asing lainnya (Inggris, Belanda, Portugis, atau Cina).
Masalah yang juga biasa melatarbelakangi
konflik etnis dan sektarian Indonesia adalah ekonomi.[18] Konflik Poso
jika hanya dianalisis secara dangkal adalah kisah perang agama. Padahal,
pada esensinya bukan konflik agama melainkan konflik ketimpangan
struktural-ekonomi antara masyarakat asli yang mayoritas Kristen dengan
kaum pendatang yang mayoritas Islam. Kejadian serupa juga terjadi di
Ambon, yang lebih diakibatkan kegamangan posisi status quo elit dan
masyarakat Ambon Kristen atas peralihan politik nasional di level pusat,
berupa peralihan kuda-kuda kekuasaan Soeharto dari ABRI menuju Islam
modernis.
Sebagai ideologi, multikulturalisme
tidaklah asing dan masih memiliki optimismenya di Indonesia. Ini
mengandaikan pemerintah pusat lebih cerdas dalam memetakan karakteristik
suku bangsa yang bergabung dengan Indonesia serta political will untuk
melakukan budaya dialog antarbudaya serta serius melakukan pemerataan
pembangunan ekonomi, yang lebih mengakomodasi komposit polietnis yang
kepentingannya saling berbeda dan kadang saling bersaing. Di sinilah
sesungguhnya peran vital pemerintah pusat selaku regulator politik dan
penetrator ayat-ayat konstitusi ke setiap sub-sub nasional negara.
Pembangunan ekonomi Indonesia tidak bisa diserahkan kepada free fight
capitalism. Peran pemerintah harus mengenyahkan tata politik kolonial
yang sekadar juragan tanpa kehendak baik memperhatikan karakteristik
budaya dan masyarakat daerah layaknya pemerintahan kolonial menyukai
konsep masyarakat majemuk.
--------------------------------
Referensi
[1] Tafsiran Furnivall oleh Nasikun dalam Nasikun, Sistem Sosial Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2006) h.39-40.
[2] J.S. Furnivall, Colonial Policy and Practice (London: Cambridge University Press, 1948) pp.303-12.
[3] Ibrahim Saad, Competing Identities in a Plural Society (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1981) p. 8.
[4] Parsudi Suparlan, Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam Masyarakat Majemuk Indonesia, (Antropologi Indonesia, 66, 2001) h.2
[5] Ibid., h.5.
[6] Leo Kuper dikutip oleh Michael Banton, Racial and Ethnic Competition (New York: Cambridge University Press, 1983) p.95.
[7] Clifford Geertz seperti termuat dalam Nasikun, Sistem ..., op.cit., h.40.
[8] Pierre L. van der Berghe seperti dikutip dalam Ibid, h.40-1.
[9] Sammy Smooha, Israel, Pluralism, and Conflict (London: Routledge & Kegan Paul Ltd, 1978) p.7.
[10] Tariq Modood, Multiculturalism: A Civic Idea (Cambridge: Polity Press, 2007) p.2
[11] Steven Bochner, Cultural Diversity Within and Between Societies: Implications for Multicultural Social Systems dalam Paul Pedersen, ed., Multiculturalism as a Fourth Force (New York: Taylor & Francis, 1999) p.19
[12] Baogang He and Will Kymlicka, eds., Multiculturalism in Asia (New York: Oxford University Press, 2005) p.2.
[13] Adam Jamrozik, The Chains of Colonial Inheritance: Searching for Identity in a Subservient Nation,
(Sydney: University of New South Wales Press Ltd., 2004) p.84-5.
Biculturalism Kanada karena Inggris dan Perancis adalah dua bangsa yang
merupakan mayoritas di Kanada. Namun, selain kedua bangsa tersebut pun
terdapat bangsa-bangsa lain layaknya di Amerika Serikat.
[14] Chandran Kukanthas, Nationalism and Multiculturalism dalam Gerald F. Gaus and Chandran Kukanthas, Handbook of Political Theory (London: SAGE Publications Ltd, 2004) pp.251-2.
[15] Will Kymlicka seperti dikutip dalam Colin Farrelly, ed., Contemporary Political Theory: A Reader (London: SAGE Publications Ltd, 2004) p.263
[16] Will Kymlicka, Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Rights (New York: Oxford University Press, 1995) p.10.
[17] Will Kymlicka, Multicultural ..., op.cit., pp.10-1.
thanks for http://setabasri01.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar