1.Menurut Ibnu Kkhaldun
“TEORI SIKLUS SEJARAH”
a. Biografi Singkat Ibnu Khaldu
Ada kecenderungan untuk menggangap sosiologi sebagai fenomena yang relatif modern, semata-mata sebagai fenomena Barat. Sebenarnya para sarjana telah sejak lama melakukan studi sosiologi dan ada yang berasal dari kawasan lain. Contohnya adalah Abdul Rahman Ibnu Khaldun.
a. Biografi Singkat Ibnu Khaldu
Ada kecenderungan untuk menggangap sosiologi sebagai fenomena yang relatif modern, semata-mata sebagai fenomena Barat. Sebenarnya para sarjana telah sejak lama melakukan studi sosiologi dan ada yang berasal dari kawasan lain. Contohnya adalah Abdul Rahman Ibnu Khaldun.
Ibnu Khaldun lahir di Tunisia, afrika Utara 27 Mei
1332 (Faghirzadeh, 1982), lahir dari keluarga terpelajar, Ibnu Kahldun di
masukkan ke sekolah al-Qur’an, kemudian mempelajari matematika dan sejarah.
Semasa hidupnya ia membantu berbagai Sultan di Tunisia, Maroko, Spayol dan
Aljazair sebagai duta besar, bendaharawan
dan anggota dewan penasihat Sultan. Ia pun pernah di penjarakan selama 2 tahun
di Maroko karena keyakinannya bahwa penguasa negara bukanlah pemimpin yang
mendapatkan kekuasaan dari Tuhan. Setelah kurang lebih dua dekade aktif di
bidang politik. Ibnu Khaldun kembali ke Afrika Utara. Di situ ia melakukan
studi dan menulis secara intensif selama 5 tahun itu meningkat kemasyhurannya
dan menyebabkan ia diangkat menjadi guru di pusat studi Islam Universitas
Al-Azhar di Kairo .
Dalam mengajar tentang
masyarakat dan sosiologi, Ibnu Khaldun menekankan pentingnya menghubungkan
pemikiran sosiologi dan observasi sejarah. Menjelang kematiannya tahun 1400,
Ibnu Khaldun telah menghasilkan sekumulan karya yang mengandung berbagai
pemikiran yang mirip dengan sosiologi
zaman sekarang. Ia melakukan studi ilmiah tentang masyarakat, riset empiris,
dan meneliti sebab-sebab fenomena sosial. Ia memusatkan perhatian pada berbagai
lembaga sosial (misalnya lembaga politik dan ekonomi ) dan hubungan antara
lembaga sosial itu.
Ia juga tertarik untuk melakukan studi perbandingan
antara masyarakat primitif dan masyarakat modern. Ibnu Khaldun tak berpengaruh
secara dramatis terhadap sosiologi klasik, tetapi setelah sarjana pada umumnya
dan sarjana Muslim khususnya meneliti ulang karyanya, ia mulai diakui sebagai
sejarawan yang mempunyai signifikasi historis. [6]
b. Pemikiran Ibnu Khaldun
“TEORI SIKLUS SEJARAH”
Ibnu Khaldun merupakan sejarawan dan filosuf sosial
islam tunisia, Ibnu Khaldun (1332-1406) sudah merumuskan sebuah model tentang
suku bangsa nomaden yang keras dan masyarakat-masyarakat halus bertipe menetap
dalam suatu hubungan yang kontras Karya Ibnu Khaldun tersebut dituangkan dalam
bukunya yang berjudul Al-Muqaddimah tentang sejarah dunia dan sosial budaya
yang di pandang sebagai karya besar di bidang tersebut. Dari kajian tentang
watak masyarakat manusia , Khaldun
menyimpulkan bahwa kehidupan nomaden lebih dahulu ada dibanding kehidupan kota
dan masing-masing kehidupan ini memiliki karakteristik tersendiri. Menurut
pengamatannya, politik tidak akan timbul terkecuali dengan penaklukan, dan
penaklukan tidak akan terealisasi kecuali dengan solidaritas.
Lebih jauh lagi, ia mengemukakan bahwa kelompok yang
terkalahkan selalu senang mengekor ke kelompok yng menang , baik dalam slogan,
pakaian, kendaraan dan tradisinya. Selain itu, salah satu watak seorang raja
adalah sikapnya yang semuanya mewarnai sebuah negara maka negara itu akan masuk
dalam masa senja. Dengan demikian, kebudayaan itu adalah tujuan masyarakat
manusi dan akhir usia senja.
Pendapat Khaldun tentang watak-watak masyarakat
manusia dijadikannya sebagai landasan konsepsinya bahwa kebudayaan dalam
berbagai bangsa berkembng melalui empat fase, yaitu fase primitif atau nomaden
fase urbanisasi, fase kemewahan, dan fase kemunduran yang mengatarkan
kehancuran. Kemudian keempat perkembangan ini oleh Khaldun sering disebut
dengan fase pembangunan, pemberi gambar gebira, penurut, dan penghancur.[7]
Di situ juga beliau menghasilkan beberapa karya
terkenal termasuk al Ibar Wa Diwan al-Mubtad Wa al-Khabar. Kitab ini
mengandungi enam jilid dan paling terkenal, kitab Muqaddimah. Sehingga kini
kitab itu menjadi rujukan umat Islam, khususnya dalam ilmu kajian sosial, politik,
falsafah dan sejarah.
Istilah sosiologi walaupun dicipta tokoh kelahiran
Perancis abad ke-19, Aguste
Comte, kajian mengenai kehidupan sosial manusia sudah dihurai oleh Ibnu Khaldun
dalam kitabnya Muqaddimah, 500 tahun lebih awal, pada usianya 36 tahun.
Ibnu khaldun, yang agaknya tepat di sebut sebagai Bapak
Ilmu Sosial. Berbeda dengan para pendahulunya ini, karena ia mengemukakan suatu
karangan teoritis yang di satu segi di maksudkan ubtuk menjernihkan sejarah, di
segi lain kerangka ini memberikan suatu pola deduktif bagi kebiasaan
mengumpulkan data para ahli etnografi kala itu.[8]
c. Asal Mula Negara (daulah)
Menurut Ibnu
Khaldun manusia di ciptakan sebagai makhluk politik atau sosial, yaitu Makhluk
yang selalu membutuhkan orang lain dalam mempertahankan kehidupannya, sehingga
kehidupannya dengan masyarakat dan organisasi sosial merupakan sebuah keharusan
(dharury). Pendapat ini agaknya mirip dengan pendapat Al-Mawardi dan Abi Rabi’.
Lebih lanjut,
manusia hanya mungkin bertahan untuk hidup dengan bantuan makanan. Sedang untuk
memenuhi makanan yang sedikit dalam waktu satu hari saja memerlukan banyak
pekerjaan. Sebagai contoh dari butir-butir gandum untuk menjadi potongan roti
memerlukan proses yang panjang. Butir-butir gandum tersebut harus di tumbuk
dulu, untuk kemudian di bakar sebelum siap untuk dimakan, dan untuk semuanya
itu di butuhkan alat-alat yang untuk mengadakannya membutuhkan kerjasama dengan
pandai kayu atau besi. Begitu juga gandum-gandum yang ada, tidak serta merta
ada, tetapi di butuhkan seorang petani. Artinya, manusia dalam mempertahankan
hidupnya dengan makanan membutuhkan manusia yang lain. [9]
Sosiologi Masyarakat Peradaban Badwi, Orang Kota, dan Solidaritas Sosial
:
Selain apa
yang telah dipaparkan di atas, Ibn Khaldun berpendapat bahwa ada faktor lain
pembentuk Negara (daulah), yaitu ‘ashabiyah
(العصبـيّة). Teorinya tentang ‘ashabiyah inilah yang melambungkan namanya
dimata para pemikir modern, teori yang membedakannya dari pemikir Muslim
lainnya.
‘Ashabiyah
mengandung makna Group feeling, solidaritas kelompok, fanatisme kesukuan,
nasionalisme, atau sentimen sosial. Yaitu cinta dan kasih sayang seorang
manusia kepada saudara atau tetangganya ketika salah satu darinya diperlakukan
tidak adil atau di sakiti. Ibnu Khaldun dalam hal ini memunculkan dua kategori
sosial fundamental yaitu Badawah (بداوة)(komunitas pedalaman, masyarakat
primitif, atau daerah gurun) dan Hadharah (حضارة)(kehidupan kota, masyarakat
beradab). Keduanya merupakan fenomena yang alamiah dan Niscaya (dharury).
Penduduk kota
menurutnya banyak berurusan dengan hidup enak. Mereka terbiasa hidup mewah dan
banyak mengikuti hawa nafsu. Jiwa mereka telah dikotori oleh berbagai macam
akhlak tercela. Sedangkan orang-orang Badwi, meskipun juga berurusan dengan
dunia, namun masih dalam batas kebutuhan, dan bukan dalam kemewahan, hawa nafsu
dan kesenangan.
Daerah yang
subur berpengaruh terhadap persoalan agama. Orang-orang Badwi yang hidup
sederhana dibanding orang-orang kota serta hidup berlapar-lapar dan
meninggalkan makanan yang mewah lebih baik dalam beragama dibandingkan dengan
orang yang hidup mewah dan berlebih. Orang-orang yang taat beragama sedikit
sekali yang tinggal di kota-kota karena kota telah dipenuhi kekerasan dan masa
bodoh. Oleh karena itu, sebagian orang yang hidup di padang pasir adalah Orang
Zuhud.
Orang Badwi
lebih berani daripada penduduk kota. Karena penduduk kota malas dan suka yang
mudah-mudah. Mereka larut dalam kenikmatan dan kemewahan. Mereka mempercayakan
urusan keamanan diri dan harta kepada penguasa. Sedangkan Orang Badwi hidup
memencilkan diri dari masyarakat. Mereka hidup liar di tempat-tempat jauh di
luar kota dan tak pernah mendapatkan pengawasan tentara. Karena itu, mereka sendiri
yang mempertahankan diri mereka sendiri dan tidak minta bantuan pada orang
lain.
Untuk
bertahan hidup masyarakat pedalaman harus memiliki sentimen kelompok
(‘ashabiyyah) yang merupakan kekuatan pendorong dalam perjalanan sejarah
manusia, pembangkit suatu klan. Klan yang memiliki ‘ashabiyyah kuat tersebut
dapat berkembang menjadi sebuah negeri. Sifat kepemimpinan selalu di miliki
orang yang memiliki solidaritas sosial. Setiap suku biasanya terikat pada
keturunan yang bersifat khusus (khas) atau umum (‘aam). Solidaritas pada
keturunan yang bersifat khusus ini lebih mendarah-daging daripada solidaritas
dari keturunan yang bersifat umum. Oleh karena itu, memimpin hanya dapat
dilaksanakan dengan kekuasaan. Maka solidaritas sosial yang dimiliki oleh
pemimpin harus lebih kuat daripada solidaritas lain yang ada, sehingga dia
memperoleh kekuasaan dan sanggup memimpin rakyatnya dengan sempurna.
Solidaritas sosial menjadi syarat kekuasaan.
Di dalam
memimpin kaum, harus ada satu solidaritas sosial yang berada di atas
solidaritas sosial masing-masing individu. Sebab, apabila solidaritas
masing-masing individu mengakui keunggulan solidaritas sosial sang pemimpin,
maka akan siap untuk tunduk dan patuh mengikutinya .
Bangsa-bangsa
liar lebih mampu memiliki kekuasaan daripada bangsa lainnya. Kehidupan padang
pasir merupakan sumber keberanian. Tak ayal lagi, suku liar lebih berani
dibanding yang lainnya. Oleh karena itulah, mereka lebih mampu memiliki
kekuasaan dan merampas segala sesuatu yang berada dalam genggaman bangsa lain.
Sebabnya, adalah karena kekuasaan dimiliki melalui keberanian dan kekerasan.
Apabila di antara golongan ini ada yang lebih hebat terbiasa hidup di padang
pasir dan lebih liar, dia akan lebih mudah memiliki kekuasaan daripada golongan
lain.
Pendapat Ibnu
Khaldun dalam hal ini tidak mengherankan, karena beliau melakukan penelitian
pada masyarakat ‘Arab dan Barbar khususnya yang memang menjalani kehidupan
sukar di padang pasir. Tujuan terakhir solidaritas adalah kedaulatan. Karena
solidaritas sosial itulah yang mempersatukan tujuan, mempertahankan diri dan
mengalahkan musuh. Begitu solidaritas sosial memperoleh kedaulatan atas
golongannya, maka ia akan mencari solidaritas golongan lain yang tak ada
hubungan dengannya. Jika solidaritas sosial itu setara, maka orang-orang yang
berada di bawahnya akan sebanding. Jika solidaritas sosial dapat menaklukan
solidaritas lain, keduanya akan bercampur yang secara bersama-sama menuntun
tujuan yang lebih tinggi dari kedaulatan. Akhirnya, apabila suatu Negara sudah
tua umurnya dan para pembesarnya yang terdiri dari solidaritas sosial sudah
tidak lagi mendukungnya, maka solidaritas sosial yang baru akan merebut
kedaulatan negara. Bisa juga ketika negara sudah berumur tua, maka butuh
solidaritas lain. Dalam situasi demikian, Negara akan memasukkan para pengikut
solidaritas sosial yang kuat ke dalam kedaulatannya dan dijadikan sebagai alat
untuk mendukung negara. Inilah yang terjadi pada Orang-orang Turki yang masuk
ke kedaulatan Bani Abbas. Akan tetapi hambatan jalan mencapai kedaulatan adalah
kemewahan. Semakin besar kemewahan dan kenikmatan mereka semakin dekat mereka
dari kehancuran, bukan tambah memperoleh kedaulatan. Kemewahan telah
menghancurkan dan melenyapkan solidaritas sosial. Jika suatu negara sudah
hancur, maka ia akan di gantikan oleh orang yang memiliki solidaritas yang campur
di dalam solidaritas sosial.
Menurut Ibnu Khaldun apabila suatu bangsa itu
liar, kedaulatannya akan sangat luas. Karena bangsa yang demikian lebih mampu
memperoleh kekuasaan dan mengadakan kontrol secara penuh dalam menaklukan
golongan lain tujuan akhir dari solidaritas sosial (‘ashabiyyah) adalah
kedaulatan. ‘Ashabiyyah tersebut terdapat pada watak manusia yang dasarnya bisa
bermacam-macam, ikatan darah atau persamaan ke-Tuhanan, tempat tinggal
berdekatan atau bertetangga, persekutuan atau aliansi, dan hubungan antara
pelindung dan yang di lindungi. Khusus Bangsa Arab menurut Ibn Khauldun,
persamaan Ke-Tuhananlah yang membuat mereka berhasil mendirikan Dinasti. Sebab
menurutnya, Bangsa Arab adalah Bangsa yang paling tidak mau tunduk satu sama
lain, kasar, angkuh, ambisius dan masing-masing ingin menjadi pemimpin.
‘Ashabiyyah yang ada hanya ‘Ashabiyyah kesukuan/qabilah yang tidak memungkinkan
mendirikan sebuah dinasti karena sifat mereka. Hanya karena Agama yang dibawa
oleh Nabi mereka akhirnya bisa dipersatukan dan di kendalikan .
Tetapi
menurutnya pula, bahwa motivasi Agama saja tidak cukup sehingga tetap
dibutuhkan solidaritas kelompok (‘Ashabiyyah). Agama dapat memperkokoh
solidaritas kelompok tersebut dan menambah keampuhannya, tetapi tetap ia
membutuhkan motivasi-mativasi lain yang bertumpu pada hal-hal diluar Agama .
Homogenitas
juga berpengaruh dalam pembentukan sebuah Dinasti yang besar. Adalah jarang
sebuah Dinasti dapat berdiri di kawasan yang mempunyai beragam aneka suku,
sebab dalam keadaan demikian masing-masing suku mempunyai kepentingan,
aspirasi, dan pandangan yang berbeda-beda sehingga kemungkinan untuk membentuk
sebuah Dinasti yang besar merupakan hal yang sulit. Hanya dengan hegemonitas
akan menimbulkan solidaritas yang kuat sehingga tercipta sebuah Dinasti yang
besar .
Dalam
kaitannya tentang ‘Ashabiyyah, Ibnu Khaldun menilai bahwa seorang Raja haruslah
berasal dari solidaritas kelompok yang paling dominan. Sebab dalam
mengendalikan sebuah negara, menjaga ketertiban, serta melindungi negara dari
ancaman musuh baik dari luar maupun dalam dia membutuhkan dukungan, loyalitas
yang besar dari rakyatnya. Dan hal ini hanya bisa terjadi jika ia berasal dari
kelompok yang dominan.[10]
d. Bentuk-Bentuk Pemerintahan
Ibnu Khaldun berpendapat bentuk
pemerintahan ada 3:
1. Pemerintahan yang natural (Siyasah
Thabi’iyah), yaitu pemerintahan yang membawa masyarakatnya sesuai dengan tujuan
nafsu. Artinya, seorang raja dalam memerintah kerajaan (mulk) lebih mengikuti
kehendak dan hawa nafsunya sendiri dan tidak memperhatikan kepentingan rakyat
yang akibatnya rakyat sukar mentaati akibat timbulnya teror, penindasan, dan
anarki. Pemerintahan jenis ini pada zaman sekarang menyerupai Pemerintahan
otoriter, individualis, otokrasi, atau inkonstitusional.
2. Pemerintahan yang berdasarkan
nalar (Siyasah ‘Aqliyah), yaitu Pemerintahan yang membawa rakyatnya sesuai
dengan rasio dalam mencapai kemaslahatan duniawi dan mencegah kemudharatan.
Pemerintahan yang berasaskan Undang-undang yang dibuat oleh para cendekiawan
dan orang pandai. Bentuk Pemerintahan seperti ini dipuji disatu sisi tetapi
dicela disatu sisi. Pemerintahan jenis ini pada zaman sekarang serupa dengan pemerintahan
Republik, atau Kerajaan Insitusional yang dapat mewujudkan keadilan sampai
batas tertentu
3. Pemerintahan yang
berlandaskan Agama (Siyasah Diniyyah), yaitu pemerintahan yang membawa semua
rakyatnya sesuai dengan tuntunan agama, baik yang bersifat keduniawian maupun
keukhrawian. Menurut Ibnu Khaldun model pemerintahan seperti inilah yang
terbaik, karena dengan hukum yang bersumber dari ajaran Agama akan terjamin
tidak saja keamanan dan kesejahteraan di dunia tetapi juga di akhirat.
Dan karena
yang dipakai sebagai asas kebijaksanaan pemerintahan itu adalah ajaran Agama,
khususnya Islam, maka kepala Negara disebut Khalifah dan Imam. Khalifah, oleh
karena ia adalah pengganti Nabi dalam memelihara kelestarian Agama dan
kesejahteraan duniawi rakyatnya. Imam, karena sebagai pemimpin dia ibarat Imam
Salat yang harus diikuti oleh rakyatnya sebagai makmum. Dari pembagian
pemerintahan di atas, nampak bahwa Ibn Khaldun menempuh jalur baru dibanding
Al-Farabi dan Ibn Abi Rabi’ dalam pengklasifikasian pemerintahan. Ia tidak
memandang pada sisi personalnya, juga pada jabatan Imam itu sendiri, melainkan
pada makna fungsional keimamahan itu sendiri. Sehingga menurutnya substansi
setiap pemerintahan adalah undang-undang yang menjelaskan karakter suatu sistem
pemerintahan.
e. Tahapan Timbul Tenggelamnya
Peradaban
Berdasarkan teorinya
‘ashabiyyah, Ibnu Khaldun membuat teori tentang tahapan timbul tenggelamnya
suatu Negara atau sebuah peradaban menjadi lima tahap, yaitu:
1.Tahap
sukses atau tahap konsolidasi, dimana otoritas negara didukung oleh masyarakat
(`ashabiyyah) yang berhasil menggulingkan kedaulatan dari dinasti sebelumnya.
2.Tahap
tirani, tahap dimana penguasa berbuat sekehendaknya pada rakyatnya. Pada tahap
ini, orang yang memimpin negara senang mengumpulkan dan memperbanyak pengikut.
Penguasa menutup pintu bagi mereka yang ingin turut serta dalam
pemerintahannya. Maka segala perhatiannya ditujukan untuk kepentingan
mempertahankan dan memenangkan keluarganya.
3.Tahap sejahtera, ketika kedaulatan telah
dinikmati. Segala perhatian penguasa tercurah pada usaha membangun negara
4.Tahap
kepuasan hati, tentram dan damai. Pada tahap ini, penguasa merasa puas dengan
segala sesuatu yang telah dibangun para pendahulunya.
5.Tahap hidup
boros dan berlebihan. Pada tahap ini, penguasa menjadi perusak warisan
pendahulunya, pemuas hawa nafsu dan kesenangan. Pada tahap ini, negara tinggal
menunggu kehancurannya.
thanks for : http://anzanidewi.blogspot.com
thanks for : http://anzanidewi.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar