B.
Latar
Belakang Pemikiran Auguste Comte
Ada beberapa sumber penting yang menjadi
latar belakang yang menentukan jalan pikiran August Comte, yaitu:
a.
Revolusi perancis dengan segala pemikiran
yang berkembang pada masa itu. Comte tidaklah dapat dipahami tanpa latar
belakang revolusi perancis dan Restorasi Dinasti Bourbon di Perancis yaitu pada
masa timbulnya krisis sosial yang maha hebat dimasa itu. Sebagai seorang ahli
pikir, Comte berusaha untuk memahami krisis yang sedang terjadi tersebut. ia
berpendapat bahwa manusia tidaklah dapat keluar dari krisis sosial yang terjadi
itu tanpa melalui pedoman-pedoman berpikir yang bersifat scientifik. Filsafat
sosial yang berkembang di Perancis pada abad ke-18, khususnya filsafat yang
dikembangkan oleh para penganut paham ensiklopedis ini, terutama dasar-dasar
pikirannya, sekalipun kelak ia mengambil posisi tersendiri setelah keluar dari
aliran ini.
b.
Aliran reaksioner dari para ahli pikir
Thoecratic terutama yang bernama De Maistre dan De Bonald. Aliran reaksioner
dalam pemikiran Katolik Roma adalah aliran yang menganggap bahwa abad
pertengahan kekuasaan gereja sangat besar, adalah periode organis, yaitu suatu
periode yang secara paling baik dapat memecahkan berbagai masalah – masalah
sosial. Aliran ini menentang pendapat para ahli yang menganggap bahwa abad
pertengahan adalah abad di mana terjadinya stagmasi didalam ilmu pengetahuan,
karena kekuasaan gereja yang demikian besar di segala lapangan kehidupan. Comte
telah membaca karya–karya pemikir Theocratic dibawah pengaruh Sain– Simont
sebagaimana diketahui Sain–Simont juga menganggap bahwa abad pertengahan adalah
periode organic yang bersifat konstruktif.
c.
Sumber terakhir yang melatarbelakangi
pemikiran Comte adalah lahirnya aliran yang dikembangkan oleh para pemikir
sosialistik, terutama yang diprakarsai oleh Sain–Simont. Comte telah membangun
hubungan yang sangat erat dengan Sain–Simont dan juga dengan para ahli pikir
sosialis Prancis lainnya. Comte di satu pihak akan membangun pengetahuan sosial
dan dipihak lain akan membangun kehidupan ilmu pengetahuan sosial yang bersifat
scientific. Sebenarnya Comte memiliki sifat tersendiri terhadap aliran ini, tetapi
sekalipun demikian dasar–dasar aliran masih tetap dianutnya terutama pemikiran
mengenai pentingnya suatu pengawasan kolektif terhadap masyarakat, dan
mendasarkan pengawasan tersebut didalam suatu dasar yang bersifat scientific.
Comte
adalah penyumbang terbesar untuk membangun sosiologi sebagai suatu ilmu. Dalam
buku filsafat positifnya, yang pada dasarnya merupakan suatu buku tentang
filsafat ilmu pengetahuan dan uraian tentang itu telah mengambil tempat paling
banyak dalam bukunya. Comte menguraikan metode–metode berpikir ilmiah. Comte
mengatakan bahwa ilmu pengetahuan pada dasarnya tidak lebih dari pada suatu
perluasan metode yang sangat sederhana dari akal sehat, terhadap semua fakta–fakta
yang tunduk kepada akal pikiran manusia. Comte sangat mendasarkan seluruh
pemikirannya kepada perkembangan atau kemampuan akal pikiran atau intelegensi
manusia.
C.
Teori-teori
yang Dikemukakan Auguste Comte
Auguste Comte membagi sosiologi menjadi
dua bagian yaitu Social Statics dan Social Dynamic.
1. Social
Dynamic
Social dynamic adalah teori tentang
perkembangan dan kemajuan masyarakat, karena social dinamic merupakan study
tentang sejarah yang akan menghilangkan filsafat yang spekulatif tentang
sejarah itu sendiri.
a. The
law of three stages (hukum tiga
tahap)
Comte berpendapat bahwa di dalam
masyarakat terjadi perkembangan yang terus-menerus, namun perkembangan umum
dari masyarakat tidak terus-menerus berjalan lurus. Ada banyak hal yang
mengganggu perkambangan suatu masyarakat seperti faktor ras, iklim, dan tindakan politik. Comte
berpendapat jawaban tentang perkembangan sosial harus dicari dari karakteristik
yang membedakan manusia dan binatang yaitu perkembangan inteligensinya. Comte
mengajukan tentang tiga tingkatan inteligensi manusia, yakni teori
evolusi atau yang
biasa disebut hukum tiga tahap
yaitu:
1)
Tahap teologis
Dimulai sebelum tahun 1300
dan menjadi ciri dunia. Tahap
ini meyakini bahwa segala
sesuatu yang terjadi di dunia ini
dikendalikan oleh kekuatan
supranatural yang dimiliki oleh
para dewa, roh atau tuhan.
Pemikiran ini menjadi dasar
yang mutlak untuk menjelaskan
segala fenomena yang terjadi di
sekitar manusia, sehingga
terkesan irasional. Dalam tahap
teologis ini terdapat tiga
kepercayaan yang dianut
masyarakat. Yang pertama
fetisysme (semuanya) dan dinamisme yang menganggap alam semesta ini
mempunyai jiwa. Kemudian animisme
yang mempercayai dunia
sebagai kediaman roh-roh atau
bangsa halus. Yang kedua
politeisme (memilih),
sedikit lebih maju dari pada kepercayaan
sebelumnya. Politeisme
mengelompokkan semua dan
kejadian alam berdasarkan
kesamaan-kesamaan diantara
mereka. Sehingga politeisme
menyederhanakan alam
semesta yang beranekaragam.
Contoh dari politeisme, dulu
disetiap sawah di desa berbeda
mempunyai dewa yang
berbeda. Politeisme
menganggap setiap sawah
dimanapun tempatnya
mempunyai dewa yang sama,
orang jawa mengatakan dewa
padi yaitu yaitu dewi sri. Yang
terakhir, monoteisme yaitu
kepercayaan yang menganggap
hanya ada satu Tuhan. Dalam tahap teologis kami dapat mencontohkannya
sebagai berikut bergemuruhnya Guntur
disebabkan raksasa yang
sedang berperang.
2)
Tahap
metafisik
Tahap ini
terjadi antara tahun 1300
sampai 1800. Pada tahap ini
manusia mengalami
pergeseran cara berpikir.
Pada tahap ini, muncul konsep-konsep abstrak atau
kekuatan abstrak selain tuhan
yakni alam. Segala kejadian di
muka bumi adalah hukum alam yang tidak dapat diubah. Contoh, pejabat negara
adalah orang yang berpendidikan dan telah mengenal ilmu pengetahuan namun ia
masih saja bergantung dan mempercayai kekuatan dukun.
3)
Tahap
positivisme
Pada tahap ini semua gejala
alam atau fenomena yang
terjadi dapat dijelaskan secara
ilmiah berdasarkan
peninjauan, pengujian dan
dapat dibuktikan secara
empiris. Tahap ini
menjadikan ilmu pengetahuan
berkembang dan segala sesuatu
menjadi lebih rasional,
sehingga tercipta dunia yang
lebih baik karena orang
cenderung berhenti melakukan
pencarian sebab mutlak (Tuhan
atau alam) dan lebih
berkonsentrasi pada penelitian
terhadap dunia sosial dan fisik
dalam upayanya menemukan
hukum yang mengaturnya.
Contoh, tanaman padi subur bukan karena akibat kehendak dewi Sri melainkan
akibat dari perawatan dan pemupukan yang baik.
b. The
law of the hierarchie of the sciencies (hierarki dari ilmu pengetahuan)
Di dalam menyusun susunan
ilmu pengetahuan, Comte
menyadarkan diri kepada tingkat perkembangan pemikiran manusia dengan segala
tingkah laku yang terdapat didalamnya. Sehingga sering kali terjadi didalam
pemikiran manusia, kita menemukan suatu tingkat pemikiran yang bersifat
scientific. Sekaligus pemikiran yang bersifat theologies didalam melihat
gejala-gejala atau kenyataan-kenyataan.
c.
The Law of
the correlation of practical activities
Comte
yakin bahwa ada hubungan yang bersifat natural antara cara berfikir yang teologis dengan militerisme. Cara berfikir teologis mendorong timbulnya usaha-usaha untuk menjawab semua persoalan melalui kekuatan (force). Karena itu, kekuasaan dan kemenangan selalu menjadi tujuan daripada masyarakat primitif dalam hubungan satu sama lain. Pada tahap
yang bersifat metafisis, prinsip-prinsip hukum (khususnya hukum alam) menjadi dasar daripada organisasi kemasyarakatan dan hubungan antara manusia. Tahap metafisis yang bersifat legalistic demikian ini merupakan tahap transisi menuju ke tahap yang bersifat positif.
d.
The Law of
the correlation of the feelings
Comte menganggap bahwa masyarakat hanya dapat dipersatukan oleh feelings. Demikianlah, bahwa sejarah telah memperlihatkan adanya korelasi antara perkembangan pemikiran manusia dengan perkembangan dari sentimen sosial. Di dalam tahap yang teologis, sentimen
sosial dan rasa simpati hanya terbatas
dalam masyarakat lokal. Tetapi dalam abad pertengahan, sosial sentimen berkembang semakin meluas seiring dengan perkembangan agama Kristen. Abad pertengahan adalah abad yang oleh Comte dianggap sebagai abad dalam tahap metafisis. Tetapi dalam tahap yang positif/ scientific, social simpati berkembang menjadi semakin universal. Comte yakin bahwa sikap positif dan scientific pikiraan manusia akan mampu memperkembangkan semangat alturistis (rasa mengahargai orang yang lebih tinggi) dan menguniversilkan perasaan sosial (social simpati).
2.
Social static
Fungsi social static dimaksudkan
sebagai suatu studi tentang hukum-hukum aksi dan reaksi dari berbagai bagian di
dalam suatu sistem sosial. Dalam sosial static terdapat empat doktrin, yaitu
doktrin tentang individu, keluarga, masyarakat dan negara. Mengarah
pada struktur yang ada dalam masyarakat. Diibaratkan sebagai sebuah bangunan
dan segala sesuatu yang menyusun bangunan itu.
D.
Kritik
terhadap Teori yang Dikemukakan Auguste Comte
Positivisme
Auguste Comte mengemukakan tiga tahap perkembangan peradaban dan pemikiran
manusia ke dalam tahap teologis, metafisik, dan positivistik. Pada tahap teologis
pemikiran manusia dikuasai oleh dogma agama, pada tahap metafisik pemikiran
manusia dikuasai oleh filsafat, sedangkan pada tahap positivistik manusia sudah
dikuasai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada tahap ketiga itulah aspek
humaniora dikerdilkan ke dalam pemahaman positivistik yang bercorak eksak,
terukur, dan berguna. Ilmu-ilmu humaniora baru dapat dikatakan sejajar dengan
ilmu-ilmu eksak manakala menerapkan metode positivistik. Di sini mulai terjadi metodolatri,
pendewaan terhadap aspek metodologis.
Selain itu,
model filsafat positivisme Auguste Comte tampak begitu mengagungkan akal dan
panca indera manusia sebagai tolok ukur “kebenaran”. Sebenarnya “kebenaran”
sebagai masalah pokok pengetahuan manusia adalah bukan sepenuhnya milik manusia. Akan tetapi hanya merupakan kewajiban manusia untuk
berusaha menghampiri dan mendekatinya dengan “cara tertentu”.
Kata cara
tertentu merujuk pada pemikiran Karl Popper mengenai “kebenaran” dan sumber
diperolehnya. Bagi Popper, ini merupakan tangkapan manusia terhadap objek
melalui rasio (akal) dan pengalamannya, namun selalu bersifat tentatif.
Artinya kebenaran selalu bersifat sementara yakni harus dihadapkan kepada suatu
pengujian yang ketat dan gawat (crucial-test) dengan cara pengujian “trial
and error” (proses penyisihan terhadap kesalahan atau kekeliruan) sehingga
“kebenaran” se1alu dibuktikan melalui jalur konjektur dan refutasi
dengan tetap konsisten berdiri di atas landasan pemikiran Rasionalisme-kritis
dan Empirisme-kritis. Atau dengan meminjam dialektika-nya Hegel, sebuah
“kebenaran” akan selalu mengalami proses tesis, sintesis, dan anti tesis, dan
begitu seterusnya.
Pandangan
mengenai “kebenaran” yang demikian itu bukan berarti mengisyaratkan bahwa
Penulis tergolong penganut Relativisme, karena menurut Penulis, Relativisme
sama sekali tidak mengakui “kebenaran” sebagai milik dan tangkapan manusia
terhadap suatu objek. Penulis berkeyakinan bahwa manusia mampu menangkap dan
menyimpan “kebenaran” sebagaimana yang diinginkannya serta menggunakannya, namun
bagi manusia, “kebenaran” selalu bersifat sementara karena harus selalu terbuka
untuk dihadapkan dengan pengujian (falsifikasi). Dan bukanlah verifikasi
seperti apa yang diyakini oleh Auguste Comte. Hal demikian karena suatu teori,
hukum ilmiah atau hipotesis tidak dapat diteguhkan (diverifikasikan) secara
positif, melainkan dapat disangkal (difalsifikasikan).
Jelasnya,
untuk menentukan “kebenaran” itu bukan perlakuan verifikasi melainkan
melalui proses falsifikasi dimana data-data yang telah diobservasi,
dieksperimentasi, dikomparasi dan di generalisasi-induktif berhenti
sampai di situ karena telah dianggap benar dan baku (positif), melainkan harus
dihadapkan dengan pengujian baru.
thanks for http://gurumudasosiologi.blogspot.com
thanks for http://gurumudasosiologi.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar